Menumbuhkan motivasi menulis
Sudah
menjadi sebuah kebenaran umum bahwa tujuan diciptakannya makhluk, salah satunya
manusia adalah untuk mengabdi kepada Sang Khaliq, yakni Allah SWT. Salah satu
perintah yang taka sing bagi kita adalah membaca dan menulis. Perintah membaca
dan menulis ini ditegaskan dalam Al-Qur’an yang tercantum dalam Q.S.68 : 1 – 3
yang terjemahannya sebagai berikut :
“ Nun, Demi Kalam dan apa yang mereka tulis,
berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan
sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak
putus-putusnya.”
Perintah
membaca dan menulis ini merupakan perintah yang paling berharga yang diberikan
kepada umat manusia sebab membaca merupakan jalan yang akan mengantarkan
manusia mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna.
Bagi
seorang pemula, memulai menulis merupakan hal yang sulit. Namun sebenarnya,
semua orang memiliki bakat menulis. Hanya perlu berlatih dan meningkatkan
keterampilan menulis untuk berbagai kebutuhan.
Allah
berfirman dalam Q.S 92 : 4 “Sesungguhnya
Usaha kamu memang berbeda-beda.” Talenta (bakat) telah diberikan oleh Allah.
Hal yang perlu kita lakukan adalah menemukan dan mengembangkan bakat tersebut.
Bakat hanya merupakan syarat perlu, tapi belum mencukupi untuk menulis. Adanya
bakat akan membuat seorang calon penulis lebih mudah menyerap teori-teori
penulisan. Sekedar memiliki bakat saja tidak cukup, disinilah letak pentingnya
motivasi menulis yang tinggi. Ada beberapa hal yang dapat memupuk motivasi
dalam menulis. (Solihin, 2007) :
Pertama
: Memosisikan motivasi menulis sebagai bagian dari ibadah. Jika
motivasi menulis dan menjadi penulis adalah ibadah, insyaallah kegiatan
tersebut akan terus berlangsung. Dengan memosisikan kegiatan menulis sebagai
bagian dari ibadah, jika kegiatan menulis tersebut tidak dijalankan maka sama
artinya dengan tidak beribadah kepadaNya.
Kedua
: jadikan menulis adalah bagian dari perjuangan. Perjuangan tidak
selalu identik dengan mengangkat senjata. Menyadari kegiatan menulis sebagai
bagian dari perjuangan akan memberikan tenaga tambahan bagi anda untuk menulis
dan tetap menulis.
Menjadi Penulis Produktif
Banyak
penulis yang mengalami kesulitan dalam menemukan ide menulis. Ada juga penulis yang
hanya sekedar menulis namun tidak mampu menjadi penulis produktif. Banyak sebab
yang membuat penulis kesulitan menemukan Ide atau bahkan menjadi penulis yang
produktif, diantaranya adalah : Pertama, karena belum mengetahui hakikat Q.S.
18 : 109
“Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi
tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu
sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula)”.
Ayat
ini menunjukkan betapa Maha Luasnya ilmu Allah. Bahkan bila seluruh lautan jadi
tinta untuk menulis, tak akan mampu menulis kalimat-kalimat Allah. Kedua : Bisa
jadi hal ini dikarenakan didalam otaknya belum terbentuk “system menulis”. Otak
kita belum bias menjadi ‘Writing Oriented’. Oleh karena itulah kita harus
melatih otak kita agar menjadi Writing Oriented agar didalam otak kita bias
terbangun Sistem menulis. Cara yang dianjurkan adalah : pertama, jadikan
kegiatan menulis sebagai pilihan hidup, bukan hobi semata yang dikerjakan hanya
ketika ada mood, atau hanya ketika ada sisa waktu. Dengan kata lain, jadikanlah
menulis sebagai gaya hidup anda. Kedua :menumbuhkan kebiasaan menulis. Menurut
Setiaji, kebiasaan menulis bisa ditumbuhkan dengan cara membaca, berdiskusi
dengan teman atau orang lain untuk mendapatkan masukan atau kritik sehingga
semakin terasah pula kemampuan berfikir dan kesanggupan untuk memahami pendapat
lain, kemudian mengikuti seminar, workshop, atau talkshow, untuk menambah
wawasan, dan yang terakhir yaitu dengan mengamati peristiwa kejadian dan
peristiwa kejadian yang terjadi dikehidupan kita.
Bagi
seseorang, untuk memulai menulis tentunya akan mengalami beberapa hambatan.
Hambatan yang dialami oleh tiap orang yang ingin menulis itu berbeda-beda.
Menurut Wardhana dan Ardianto (2007), ada dua penyebab utama yang menjadi
factor penghambat kegiatan menulis. Pertama,
Faktor Internal yaitu Faktor penghambat yang berasal dari dalam diri
sendiri, seperti Ia memang tipe orang yang tidak senang membaca, belum memiliki
kemampuan bahasa yang baik, dan belum adanya minat dan keinginan untuk menulis.
Dan factor penghambat yang kedua yaitu
Faktor Eksternal, yakni seperti sulitnya mendapat bahan acuan dan referensi
untuk menulis, sulit mencari topic ataupun tema untuk bahan tulisan, dan
kesulitan dalam menyusun kalimat baku.
Mengelola waktu untuk menulis
Seorang
penulis professional masih memerlukan keahlian khusus dalam mengelola waktunya
untuk menulis dan membaca. Karena membaca juga merupakan syarat penting untuk
mampu menulis. Seorang penulis professional masih memerlukan banyak referensi
untuk terus berlatih agar mampu membuat tulisan terbaiknya. Ada yang telah
berlatih hingga menciptakan 10 buah buku, 50 buku, bahkan 100 buku. Dan semua
itu memerlukan waktu untuk membaca dan juga untuk menulis. Lantas bagaimana
dengan seorang penulis pemula ?
bagaimana caranya agar kita juga memiliki banyak waktu untuk membaca dan
juga berlatih menulis ? caranya cukup mudah, kita hanya perlu mengalokasikan
waktu kita atau mengganti waktu-waktu yang tadinya hanya digunakan untuk
hal-hal yang sepele atau tidak produktif menjadi kegiatan yang bermanfaat dan
produktif. Salah satu contohnya yaitu menulis.
Telah
terpenuhinya syarat perlu dan syarat cukup saja tidak cukup. Ada beberapa hal
yang harus dilakukan agar keterampilan, kualitas, dan produktivitas menulis
meningkat. (Rahmawan,2009 ; Jonru, 2009) yaitu :
Pertama : Sediakan waktu khusus untuk menulis, ini menjadi
syarat utama dapat-tidaknya penulis menghasilkan karya tulis.
Kedua : Disiplin dalam mengelola waktu.
Ketiga : Menghargai waktu dan tidak menunda-nunda pekerjaan.
Dalam dunia tulis – menulis, apalagi yang akan ditulis adalah Ide, maka menunda-nunda
pekerjaan adalah Haram dilakukan. Ketika Ide datang, maka saat itu juga kita
harus menuliskannya. Kapan kita tunda, Ide itu tidak akan datang untuk kedua
kalinya. Terkadang setelah Ide lenyap, maka yang ada hanya mengingat apa yang
baru saja terfikirkan oleh kita. Itupun tidak akan membuahkan hasil yang sama
dan maksimal.
Keempat : Kenali aktivitas harian. Banyak orang yang merasa
dirinya sibuk karena tugas yang banyak, namun tidak menyadari waktu luang yang
bisa dimanfaatkan disela-sela kesibukannya.
Kelima : Mengerti Prioritas. Qardhawi (2009) mengungkapkan
urutan amal yang terpenting diantara yang penting. Sangat penting dan sangat
mendesak, tidak penting dan sangat mendesak, sangat penting dan tidak mendesak,
tidak penting dan tidak mendesak.
Keenam : Gunakan waktu perjalanan.
MANUSIA DALAM SEJARAH : Sebuah Pengantar
Menjadikan
Biografi sebagai sasaran penelitian dan penulisan kadang-kadang dapat membawa
orang pada dua kemungkinan yang bertolak belakang. Ia – Si peneliti, jika itu
yang dikehendakinya – bisa merasa puas dengan data dasar mengenai tokohnya.
Lahirnya diketahui, orang tuanya dikenal, tempat dan tingkat pendidikannya
dicantumkan, kedudukan yang pernah dijabat ditelusuri, dan seterusnya. Tak salah,
tetapi jika ini yang dilakukan, maka akan lebih baik jika ia tidak berhenti
pada satu orang saja. Akan lebih baik jika diteruskan dengan catatan tentang
tokoh-tokoh lain, yang sepekerjaan, sestatus, atau sedaerah, dengan yang
pertama.
Kemungkinan
kedua ialah terlibatnya pada hal-hal yang bersifat spekulatif – filosofi.
Apakah peranan sesungguhnya dari tokoh dalam sejarah ? apakah ia ; yang
menentukan jalannya sejarah, ataukah ia tak lebih dari alat yang kebetulan
berada dalam kedudukan yang strategis saja. Penghadapan yang sadar terhadap
masalah ini sering berarti telah lebih dulu membuat penilaian. Penulis biografi
telah lebih dulu menempatkan tokohnya dalam konteks sejarah yang kosmis
sifatnya. Ia telah lebih dulu menentukan sikap, sebelum menelitinya. Tetapi
jika tidak, berarti ia sesungguhnya telah menentukan pilihan ideologisnya.
Dengan keterlibatannya dalam kehidupan tokohnya ia biasa telah beranggapan
bahwa peranan tokohnya dominan. Dan sering terjadi, ia akan terbuai pada
hagiografi dimana biografi telah menjadi riwayat para “Orang suci”, bukan
manusia biasa.
Tetapi
untunglah hidup ini tidak selalu menghadapkan kita kepada hal-hal yang serba
ekstrim berlawanan. Dengan pengetahuan yang luas dan kesadaran sejarah yang
dalam serta didukung oleh imajinasi historis, seorang penulis biografi dapat
juga menempatkan tokohnya dalam proporsi yang wajar. Dengan menyadari
kemungkinan berpengaruhya hal-hal yang mempermasalahkan soal metodologis. Dengan
kata lain bukanlah permasalahan spekulatif yang memukaunya – jawaban terhadap
hal yang spekulatif sering bersifat “misteri” – tetapi soal-soal
kritis-analisis. Ia mungkin, jika ia mau, mempersoalkan seberapa jauh ia dapat
mengetahui sepenuhnya kehidupan seseorang? Dapatkah ia mencari hubungan antara
tindakan dan perilaku yang terlihat, dengan nilai dan dorongan psikologis dari
tokoh yang ditelitinya ? masalah ini menyangkut pula hal yang lebih umum,
tetapi fundamental. Bagaimanakah penulis biografi menangkap dan mengerti
pergumulan tokohnya dengan lingkungannya ? masalah ini menjadi lebih sulit bagi
penulis biografi yang harus berhadapan dengan tokoh “besar”. Makin dinaggap “besar”
seorang tokoh makin terselimutlah dirinya itu dengan nilai-nilai dan anggapan
yang telah dikenakan kepadanya. Secara analogis, bisa disebut bahwa penulis
biografi, berhadapan dengan seseorang yang berbaju tebal, sedangkan ia
sesungguhnya mau mengetahui badan alamiyah dari orang tersebut. “ baju tebal”
tersebut adalah realitas-realitas palsu yang menghambat pengenalan langsung
terhadap pemakainya. Sering sekali baju tebal itu adalah pula ciptaan social,
yang tumbuh sebagai akibat dari berlanjutnya proses sosialisasi.
Dengan
ketelitian penulis biografi diharapkan untuk mengetahui dan merekam kejadian
dan situasi yang mengitari kehidupan tokohnya. Ia diharapkan untuk mendalami
aspek-aspek struktural yang mengelilingi hidup tokohnya. Ia biasanya mempunyai
interpretasi terhadap semuanya. Disamping itu ia harus mencatat perbuatan dan
tindakan yang dilakukan tokohnya dalam konteks historis yang telah diketahuinya
itu. Namun merupakan sebuah keharusan baginya untuk mengetahui apa interpretasi
si actor, tokohnya, terhadap lingkungan itu. Dengan mengetahui ini, Ia-Si
penulis bukan saja harus sadar sepenuhnya tentang mana interpretasinya sendiri
tentang situasi historis dari tokohnya dan mana pula interpretasi tokoh itu
sendiri. Bersandarkan atas kesadaran yang jujur terhadap kemungkinan perbedaan
interpretasi tokoh itu sendiri. Bersandarkan atas kesadaran yang jujur terhadap
kemungkinan perbedaan interpretasi ini sipenulis secara metodologis lebih
dimungkinkan untuk melihat dan merasakan apa yang dilihat dan dirasakan oleh si
tokoh. Ia ‘tahu’ dan ia ‘mengalami’. Dengan begini bisalah dimengerti bahwa
biografi yang merupakan mikro – sejarah paling basis, sering disebut sebagai
salah satu genre dari sastra.
Yang
menjadi masalah bagi seorang penulis biografi adalah keharusan untuk
menerangkan segala sesuatu itu secara rasional. Bukan ke-rasional-an atau
tidaknya suatu peristiwa yang dipersoalkan., tetapi keharusan untuk diceritakan
secara rasional. Memang dalam hal ini si penulis haruslah dengan sadar keluar
dari ambivalensi, sifat serba-dua, yang sering dikenakan pada
sejarah-sejarah-sebagaimana-ia-terjadi dan sejarah-bagaimana-ia-diceritakan.
Berbagai
cara dapat dipakai. Apakah hidup seseorang akan dikisahkan dengan gaya
bercerita ataukah secara analitis mencoba menempatkan hidup seseorang itu dalam
konteks sejarah tertentu, ataukah hidupnya hanya dilihat dari thema tertentu
saja. Namun tugas utama dari penulis biografi ialah mencoba menangkap dan
menguraikan jalan hidup seseorang dalam hubungannya dengan kehidupan lingkungan
social-historis yang mengitarinya. Seseorang seharusnya dilihat sebagaimana
seharusnya ia berkembang, bukannya bagaimana masyarakat ingin melihat.
Inilah
pada keharusan yang kedua inilah, mengapa biografi, seperti juga uraian sejarah
pada umumnya, sering harus ditinjau lagi. “Ia” yang sesungguhnya itu tidak
segera menampakkan diri dari “baju tebal” yang menyelimutinya. “ia” yang
sesungguhnya mendapat “naju” baru sejalan dengan symbol yang ingin diperteguh
masyarakat dan dengan keinginan masyarakat untuk dijadikan contoh atau
kadang-kadang personifikasi symbol itu sendiri.
Dengan
mendalami dan mencoba mengemukakan dialog dari kedua hal ini – ‘diri’ dan
‘penilaian sejarah’ – dari seseorang maka penulis biografi sekaligus akan
mengemukakan dua hal. Yang pertama, tentu saja bagaimana tokohnya mencoba
mengatasi segala hambatan, social- ekonomis, kulturil, ataupun psikologis, yang
mengitari dirinya. Yang kedua Ia – Si penulis, akan melihat perubahan social – politik
yang mempengaruhi dasar penilaian sejarah.
Suatu
problema memang, sampai dimana perubahan social – politik, apalagi politik –
kekuasaan saja, secara fundamental menukar dasaj asumsi kulturil dari penilaian
sejarah. “jelek” dan “baik” adalah masalah etis; tempatnya bisa berganti sesuai
dengan pergantian kekuasaan atau orientasi ideologis. Pemberontakan terhadap kekuasaan
yang syah bisa dinilai “baik” atau “jelek”, tergantung dari sudut bagaimana
sikap terhadap “kekuasaan yang syah” itu sekarang. Tetapi kedua penilaian itu
sebenarnya bersumber dari dasar konseptual yang sama-kekuasaan dipakai sebagai
kriterium.
Dalam
hal ini bisa pulalah dimengerti bahwa kadang –kadang si tokoh, ketika ia masih
hidup, adalah sesungguhnya penganut dari dasar konseptual itu. Karenanya bukan
tak mungkin pula dalam perbuatannya, dan terutama dalam usahanya menerangkan
maksud dan arti perbuatannya, ia dibimbing oleh sikap ini. Ia seakan – akan memaksa
sejarah menilainya sesuai dengan nilai yang dikenakan kepada dirinya.
Dengan
menyadari hal-hal ini maka bukan saja “baju tebal” yang telah dikenakan pada
masyarakat dapat dibuka lagi, tetapi juga kesan yang ditimbulkan oleh pelaku
terhadap dirinya dapat pula difahami.