Selasa, 23 Juni 2015

Menumbuhkan Motivasi Menulis




Menumbuhkan motivasi menulis
            Sudah menjadi sebuah kebenaran umum bahwa tujuan diciptakannya makhluk, salah satunya manusia adalah untuk mengabdi kepada Sang Khaliq, yakni Allah SWT. Salah satu perintah yang taka sing bagi kita adalah membaca dan menulis. Perintah membaca dan menulis ini ditegaskan dalam Al-Qur’an yang tercantum dalam Q.S.68 : 1 – 3 yang terjemahannya sebagai berikut :
            “ Nun, Demi Kalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.”
            Perintah membaca dan menulis ini merupakan perintah yang paling berharga yang diberikan kepada umat manusia sebab membaca merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna.
            Bagi seorang pemula, memulai menulis merupakan hal yang sulit. Namun sebenarnya, semua orang memiliki bakat menulis. Hanya perlu berlatih dan meningkatkan keterampilan menulis untuk berbagai kebutuhan.
            Allah berfirman dalam Q.S 92 : 4 “Sesungguhnya Usaha kamu memang berbeda-beda.”  Talenta (bakat) telah diberikan oleh Allah. Hal yang perlu kita lakukan adalah menemukan dan mengembangkan bakat tersebut. Bakat hanya merupakan syarat perlu, tapi belum mencukupi untuk menulis. Adanya bakat akan membuat seorang calon penulis lebih mudah menyerap teori-teori penulisan. Sekedar memiliki bakat saja tidak cukup, disinilah letak pentingnya motivasi menulis yang tinggi. Ada beberapa hal yang dapat memupuk motivasi dalam menulis. (Solihin, 2007) :
            Pertama : Memosisikan motivasi menulis sebagai bagian dari ibadah. Jika motivasi menulis dan menjadi penulis adalah ibadah, insyaallah kegiatan tersebut akan terus berlangsung. Dengan memosisikan kegiatan menulis sebagai bagian dari ibadah, jika kegiatan menulis tersebut tidak dijalankan maka sama artinya dengan tidak beribadah kepadaNya.
            Kedua : jadikan menulis adalah bagian dari perjuangan. Perjuangan tidak selalu identik dengan mengangkat senjata. Menyadari kegiatan menulis sebagai bagian dari perjuangan akan memberikan tenaga tambahan bagi anda untuk menulis dan tetap menulis.
            Menjadi Penulis Produktif
            Banyak penulis yang mengalami kesulitan dalam menemukan ide menulis. Ada juga penulis yang hanya sekedar menulis namun tidak mampu menjadi penulis produktif. Banyak sebab yang membuat penulis kesulitan menemukan Ide atau bahkan menjadi penulis yang produktif, diantaranya adalah : Pertama, karena belum mengetahui hakikat Q.S. 18 : 109
            Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.
            Ayat ini menunjukkan betapa Maha Luasnya ilmu Allah. Bahkan bila seluruh lautan jadi tinta untuk menulis, tak akan mampu menulis kalimat-kalimat Allah. Kedua : Bisa jadi hal ini dikarenakan didalam otaknya belum terbentuk “system menulis”. Otak kita belum bias menjadi ‘Writing Oriented’. Oleh karena itulah kita harus melatih otak kita agar menjadi Writing Oriented agar didalam otak kita bias terbangun Sistem menulis. Cara yang dianjurkan adalah : pertama, jadikan kegiatan menulis sebagai pilihan hidup, bukan hobi semata yang dikerjakan hanya ketika ada mood, atau hanya ketika ada sisa waktu. Dengan kata lain, jadikanlah menulis sebagai gaya hidup anda. Kedua :menumbuhkan kebiasaan menulis. Menurut Setiaji, kebiasaan menulis bisa ditumbuhkan dengan cara membaca, berdiskusi dengan teman atau orang lain untuk mendapatkan masukan atau kritik sehingga semakin terasah pula kemampuan berfikir dan kesanggupan untuk memahami pendapat lain, kemudian mengikuti seminar, workshop, atau talkshow, untuk menambah wawasan, dan yang terakhir yaitu dengan mengamati peristiwa kejadian dan peristiwa kejadian yang terjadi dikehidupan kita.
            Bagi seseorang, untuk memulai menulis tentunya akan mengalami beberapa hambatan. Hambatan yang dialami oleh tiap orang yang ingin menulis itu berbeda-beda. Menurut Wardhana dan Ardianto (2007), ada dua penyebab utama yang menjadi factor penghambat kegiatan menulis. Pertama, Faktor Internal yaitu Faktor penghambat yang berasal dari dalam diri sendiri, seperti Ia memang tipe orang yang tidak senang membaca, belum memiliki kemampuan bahasa yang baik, dan belum adanya minat dan keinginan untuk menulis. Dan factor penghambat yang kedua yaitu Faktor Eksternal, yakni seperti sulitnya mendapat bahan acuan dan referensi untuk menulis, sulit mencari topic ataupun tema untuk bahan tulisan, dan kesulitan dalam menyusun kalimat baku.
Mengelola waktu untuk menulis
            Seorang penulis professional masih memerlukan keahlian khusus dalam mengelola waktunya untuk menulis dan membaca. Karena membaca juga merupakan syarat penting untuk mampu menulis. Seorang penulis professional masih memerlukan banyak referensi untuk terus berlatih agar mampu membuat tulisan terbaiknya. Ada yang telah berlatih hingga menciptakan 10 buah buku, 50 buku, bahkan 100 buku. Dan semua itu memerlukan waktu untuk membaca dan juga untuk menulis. Lantas bagaimana dengan seorang penulis pemula ?  bagaimana caranya agar kita juga memiliki banyak waktu untuk membaca dan juga berlatih menulis ? caranya cukup mudah, kita hanya perlu mengalokasikan waktu kita atau mengganti waktu-waktu yang tadinya hanya digunakan untuk hal-hal yang sepele atau tidak produktif menjadi kegiatan yang bermanfaat dan produktif. Salah satu contohnya yaitu menulis.
            Telah terpenuhinya syarat perlu dan syarat cukup saja tidak cukup. Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar keterampilan, kualitas, dan produktivitas menulis meningkat. (Rahmawan,2009 ; Jonru, 2009) yaitu :
Pertama : Sediakan waktu khusus untuk menulis, ini menjadi syarat utama dapat-tidaknya penulis menghasilkan karya tulis.
Kedua : Disiplin dalam mengelola waktu.
Ketiga : Menghargai waktu dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Dalam dunia tulis – menulis, apalagi yang akan ditulis adalah Ide, maka menunda-nunda pekerjaan adalah Haram dilakukan. Ketika Ide datang, maka saat itu juga kita harus menuliskannya. Kapan kita tunda, Ide itu tidak akan datang untuk kedua kalinya. Terkadang setelah Ide lenyap, maka yang ada hanya mengingat apa yang baru saja terfikirkan oleh kita. Itupun tidak akan membuahkan hasil yang sama dan maksimal.
Keempat : Kenali aktivitas harian. Banyak orang yang merasa dirinya sibuk karena tugas yang banyak, namun tidak menyadari waktu luang yang bisa dimanfaatkan disela-sela kesibukannya.
Kelima : Mengerti Prioritas. Qardhawi (2009) mengungkapkan urutan amal yang terpenting diantara yang penting. Sangat penting dan sangat mendesak, tidak penting dan sangat mendesak, sangat penting dan tidak mendesak, tidak penting dan tidak mendesak.
Keenam : Gunakan waktu perjalanan.
MANUSIA DALAM SEJARAH : Sebuah Pengantar
            Menjadikan Biografi sebagai sasaran penelitian dan penulisan kadang-kadang dapat membawa orang pada dua kemungkinan yang bertolak belakang. Ia – Si peneliti, jika itu yang dikehendakinya – bisa merasa puas dengan data dasar mengenai tokohnya. Lahirnya diketahui, orang tuanya dikenal, tempat dan tingkat pendidikannya dicantumkan, kedudukan yang pernah dijabat ditelusuri, dan seterusnya. Tak salah, tetapi jika ini yang dilakukan, maka akan lebih baik jika ia tidak berhenti pada satu orang saja. Akan lebih baik jika diteruskan dengan catatan tentang tokoh-tokoh lain, yang sepekerjaan, sestatus, atau sedaerah, dengan yang pertama.
            Kemungkinan kedua ialah terlibatnya pada hal-hal yang bersifat spekulatif – filosofi. Apakah peranan sesungguhnya dari tokoh dalam sejarah ? apakah ia ; yang menentukan jalannya sejarah, ataukah ia tak lebih dari alat yang kebetulan berada dalam kedudukan yang strategis saja. Penghadapan yang sadar terhadap masalah ini sering berarti telah lebih dulu membuat penilaian. Penulis biografi telah lebih dulu menempatkan tokohnya dalam konteks sejarah yang kosmis sifatnya. Ia telah lebih dulu menentukan sikap, sebelum menelitinya. Tetapi jika tidak, berarti ia sesungguhnya telah menentukan pilihan ideologisnya. Dengan keterlibatannya dalam kehidupan tokohnya ia biasa telah beranggapan bahwa peranan tokohnya dominan. Dan sering terjadi, ia akan terbuai pada hagiografi dimana biografi telah menjadi riwayat para “Orang suci”, bukan manusia biasa.
            Tetapi untunglah hidup ini tidak selalu menghadapkan kita kepada hal-hal yang serba ekstrim berlawanan. Dengan pengetahuan yang luas dan kesadaran sejarah yang dalam serta didukung oleh imajinasi historis, seorang penulis biografi dapat juga menempatkan tokohnya dalam proporsi yang wajar. Dengan menyadari kemungkinan berpengaruhya hal-hal yang mempermasalahkan soal metodologis. Dengan kata lain bukanlah permasalahan spekulatif yang memukaunya – jawaban terhadap hal yang spekulatif sering bersifat “misteri” – tetapi soal-soal kritis-analisis. Ia mungkin, jika ia mau, mempersoalkan seberapa jauh ia dapat mengetahui sepenuhnya kehidupan seseorang? Dapatkah ia mencari hubungan antara tindakan dan perilaku yang terlihat, dengan nilai dan dorongan psikologis dari tokoh yang ditelitinya ? masalah ini menyangkut pula hal yang lebih umum, tetapi fundamental. Bagaimanakah penulis biografi menangkap dan mengerti pergumulan tokohnya dengan lingkungannya ? masalah ini menjadi lebih sulit bagi penulis biografi yang harus berhadapan dengan tokoh “besar”. Makin dinaggap “besar” seorang tokoh makin terselimutlah dirinya itu dengan nilai-nilai dan anggapan yang telah dikenakan kepadanya. Secara analogis, bisa disebut bahwa penulis biografi, berhadapan dengan seseorang yang berbaju tebal, sedangkan ia sesungguhnya mau mengetahui badan alamiyah dari orang tersebut. “ baju tebal” tersebut adalah realitas-realitas palsu yang menghambat pengenalan langsung terhadap pemakainya. Sering sekali baju tebal itu adalah pula ciptaan social, yang tumbuh sebagai akibat dari berlanjutnya proses sosialisasi.
            Dengan ketelitian penulis biografi diharapkan untuk mengetahui dan merekam kejadian dan situasi yang mengitari kehidupan tokohnya. Ia diharapkan untuk mendalami aspek-aspek struktural yang mengelilingi hidup tokohnya. Ia biasanya mempunyai interpretasi terhadap semuanya. Disamping itu ia harus mencatat perbuatan dan tindakan yang dilakukan tokohnya dalam konteks historis yang telah diketahuinya itu. Namun merupakan sebuah keharusan baginya untuk mengetahui apa interpretasi si actor, tokohnya, terhadap lingkungan itu. Dengan mengetahui ini, Ia-Si penulis bukan saja harus sadar sepenuhnya tentang mana interpretasinya sendiri tentang situasi historis dari tokohnya dan mana pula interpretasi tokoh itu sendiri. Bersandarkan atas kesadaran yang jujur terhadap kemungkinan perbedaan interpretasi tokoh itu sendiri. Bersandarkan atas kesadaran yang jujur terhadap kemungkinan perbedaan interpretasi ini sipenulis secara metodologis lebih dimungkinkan untuk melihat dan merasakan apa yang dilihat dan dirasakan oleh si tokoh. Ia ‘tahu’ dan ia ‘mengalami’. Dengan begini bisalah dimengerti bahwa biografi yang merupakan mikro – sejarah paling basis, sering disebut sebagai salah satu genre dari sastra.
            Yang menjadi masalah bagi seorang penulis biografi adalah keharusan untuk menerangkan segala sesuatu itu secara rasional. Bukan ke-rasional-an atau tidaknya suatu peristiwa yang dipersoalkan., tetapi keharusan untuk diceritakan secara rasional. Memang dalam hal ini si penulis haruslah dengan sadar keluar dari ambivalensi, sifat serba-dua, yang sering dikenakan pada sejarah-sejarah-sebagaimana-ia-terjadi dan sejarah-bagaimana-ia-diceritakan.
            Berbagai cara dapat dipakai. Apakah hidup seseorang akan dikisahkan dengan gaya bercerita ataukah secara analitis mencoba menempatkan hidup seseorang itu dalam konteks sejarah tertentu, ataukah hidupnya hanya dilihat dari thema tertentu saja. Namun tugas utama dari penulis biografi ialah mencoba menangkap dan menguraikan jalan hidup seseorang dalam hubungannya dengan kehidupan lingkungan social-historis yang mengitarinya. Seseorang seharusnya dilihat sebagaimana seharusnya ia berkembang, bukannya bagaimana masyarakat ingin melihat.
            Inilah pada keharusan yang kedua inilah, mengapa biografi, seperti juga uraian sejarah pada umumnya, sering harus ditinjau lagi. “Ia” yang sesungguhnya itu tidak segera menampakkan diri dari “baju tebal” yang menyelimutinya. “ia” yang sesungguhnya mendapat “naju” baru sejalan dengan symbol yang ingin diperteguh masyarakat dan dengan keinginan masyarakat untuk dijadikan contoh atau kadang-kadang personifikasi symbol itu sendiri.
            Dengan mendalami dan mencoba mengemukakan dialog dari kedua hal ini – ‘diri’ dan ‘penilaian sejarah’ – dari seseorang maka penulis biografi sekaligus akan mengemukakan dua hal. Yang pertama, tentu saja bagaimana tokohnya mencoba mengatasi segala hambatan, social- ekonomis, kulturil, ataupun psikologis, yang mengitari dirinya. Yang kedua Ia – Si penulis, akan melihat perubahan social – politik yang mempengaruhi dasar penilaian sejarah.
            Suatu problema memang, sampai dimana perubahan social – politik, apalagi politik – kekuasaan saja, secara fundamental menukar dasaj asumsi kulturil dari penilaian sejarah. “jelek” dan “baik” adalah masalah etis; tempatnya bisa berganti sesuai dengan pergantian kekuasaan atau orientasi ideologis. Pemberontakan terhadap kekuasaan yang syah bisa dinilai “baik” atau “jelek”, tergantung dari sudut bagaimana sikap terhadap “kekuasaan yang syah” itu sekarang. Tetapi kedua penilaian itu sebenarnya bersumber dari dasar konseptual yang sama-kekuasaan dipakai sebagai kriterium.
            Dalam hal ini bisa pulalah dimengerti bahwa kadang –kadang si tokoh, ketika ia masih hidup, adalah sesungguhnya penganut dari dasar konseptual itu. Karenanya bukan tak mungkin pula dalam perbuatannya, dan terutama dalam usahanya menerangkan maksud dan arti perbuatannya, ia dibimbing oleh sikap ini. Ia seakan – akan memaksa sejarah menilainya sesuai dengan nilai yang dikenakan kepada dirinya.
            Dengan menyadari hal-hal ini maka bukan saja “baju tebal” yang telah dikenakan pada masyarakat dapat dibuka lagi, tetapi juga kesan yang ditimbulkan oleh pelaku terhadap dirinya dapat pula difahami.

Rabu, 19 Maret 2014

Tugas News

Sosialisasi Jurusan KPI part II


Samata, Gowa (18/3/14). Himpunan Mahasiswa jurusan Komunikasi dan penyiaran Islam (HMJ KPI) Melaksanakan Sosialisasi jurusan part II yang merupakan program kerja lanjutan dari sosialisasi jurusan part I yang telah dilakukan di 10 kabupaten di sulawesi selatan, pada tanggal 18-25 februari 2014 Lalu.
Sosialisasi jurusan part II ini dilaksanakan oleh pengurus HMJ KPI yang didominasi oleh Mahasiswa jurusan KPI ang. '12. kali ini, sosialisasi jurusan dilakukan di 3 kabupaten, yaitu Takalar, Gowa, dan Makassar.
"Kita juga perlu memperkenalkan KPI kepada calon Mahasiswa yang berasal dari daerah tetangga kita. agar mereka juga tau betapa hebatnya Jurusan KPI. karena Mahasiswa jebolan jurusan KPI itu mempunyai prospek kerja yang sangat luas." Ungkap Fadli Rachman selaku ketua HMJ KPI. (19/3)
Menurut Mahasiswa KPI semester IV ini, sosialisasi part II kali ini tidak se-seru sosialisasi part I, karena selain tidak bisa mengambil pengalaman yang lebih banyak, waktu yang dimiliki juga sangat singkat sehingga sosialisasi part II kali ini terkesan terburu-buru. akan tetapi, meskipun begitu Kamaria (20) yang merupakan salah satu mahasiswa KPI yang ikut tour sosialisasi ini mengaku bahwa "Dari sosialisasi jurusan ini, kita mendapat banyak pelajaran dan tentunya saya sendiri juga bisa mengenal jurusan KPI lebih dalam lagi."
(Elok faiqoh)

All about me :)

Siapa yang tidak tau kata "Elok" ? Yang ngaku sebagai warga indonesia yang baik sudah pasti tau doonk "Elok" itu artinya apa ? iyakan ? Iya doonkk... soalnya "Elok" juga ada dalam KBBI yang berarti "Indah, cantik, baik, de el el." :D
Yup, bener banget ! "Elok" juga identik dengan "Jawa". Seperti kejadian yang kerap kali aku dapetin ketika sang Dosen menyebut namaku pada pertemuan kuliah perdana, kebanyakan sang Dosen langsung menebak "Elok orang jawa ya ?" Hahahahaa... Nempel Banget deh julukan 'Jawa' itu di nama 'Elok'. Nggak heran sih,  karena kata "Elok" itu memang lebih dominan digunakan oleh orang jawa, jadi wajar aja doonk kalau orang yang pertama kenal aku slalu nebak kalau aku tuu orang Jawa.
Eits, tapi nggak ada salahnya juga siih, soalnya Orang tuaku juga Orang jawa, cuma akunya aja yang Lahir, dan besar di Makassar. 
Next, all about me... 
Aaaargh.. Hampir Lupa ! Nama Lengkapku Elok Faiqotul Himmah. and Bulan februari lalu, tepatnya pada tanggal 7 aku baru aja ngerayain Ulang tahunku yang ke-19 tahun. Dan kali ini Ulang tahunku berkesan banget lhoo... soalnya aku dikerjain habis-habisan sama Temen-temen Crew Radio Syiar 107.1 fm. Bener-bener habis dah pokoknya !!!
Apalagi Directur Radio kami juga ikut andil ngerjain aku, sampai akunya disuruh buat Surat pernyataan pengunduran diri juga !!!  x_x Parah bangett dahh !!! 
Next, dalam keluarga aku juga berperan menjadi kakak dari 2 adikku, dan tentunya di posisi ini aku dituntut untuk bisa menjadi panutan yang baik untuk ke-2 adik-adikku ini... 
aku dan ke Dua adik-adikku ini tidak memiliki banyak perbedaan wajah, bahkan orang yang tidak kenal kami pun bisa langsung tau kalau kita bertiga ini bersaudara. yup, hanya saja aku versi ceweknya and adikku versi cowoknya... 
nah, tentunya dalam keluarga aku tetap yang paling cantik dooonkk :D Hahahhahahah :D 
Nggak percaya ? 
Nihh ...

Hahahahhaaa... Numpang Narsiissss :D 




Senin, 17 Maret 2014

Aliran - aliran Psikologi

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang

Psikologi sebagai satu ilmu pengetahuan sudah berdiri sendiri sekitar abad ke 18, dari berbagai tokoh kemudian terbentuk aliran-aliran psikologi dengan berbagai teorinya masing-masing. Tujuan dari berbagai aliran tersebut tiada lain hanyalah ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang ilmu yang mempelajari tentang jiwa ini. 
Dari masa-kemasa aliran-aliran tersebut semakin meluas dan semakin banyak, bukan hanya tokohnya, akan tetapi para pengikut dari tokoh-tokoh itu pun mungkin sudah tak terhitung, untuk mengetahui lebih dalam tentang hal tersebut maka penulis mencoba untuk memaparkan sebagian dari hal-hal tersebut. 
Untuk lebih spesifiknya penulis akan mencoba memaparkan tentang empat aliran Psikologi yang banyak digunakan oleh sebagian besar tokoh Psikologi modren, diantaranya; aliran Humanistik, Analisis, Gestalt dan Behavourisme serta teori yang dikemukakan oleh empat aliran tersebut.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan beberapa masalah :
1. Siapa yang mencetuskan empat aliran psikologi tersebut diatas?
2. Teori apa saja yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh aliran tersebut?
3. Apa manfaat mempelajari Ilmu Jiwa Umum?




1
c.      Tujuan Penulisan
Setiap sesuatu yang ada didunia ini pasti mempunyai tujuan tersendiri tak terkecuali makalah ini, yang pastinya juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, diantaranya adalah: 
1. Mengetahui tokoh-tokoh yang mencetuskan empat macam aliran tersebut diatas.
2. Mengetahui teori-teori yang dikemukakan oleh tokoh utama aliran-aliran tersebut.
3. Mengetahui tahun berdiri aliran-aliran tersebut.
4. Sebagai pengalaman dalam dunia kepenulisan yang dituntut untuk selalu memberikan asupan terhadap perkembangan kehidupan.
5. Sebagai tugas kelompok untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi umum.


BAB II
PEMBAHASAN

ALIRAN-ALIRAN  DAN MANFAAT  PSIKOLOGI
A.   Aliran-aliran Psikologi
Setelah psikologi berdiri sendiri, lambat laun para ahli psikologi mengembangkan sistematika dan metode-metodenya sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan demikian timbul apa yang disebut aliran-aliran dalam psikologi. Sejak zaman dahulu aliran-aliran dalam satu bidang ilmu sangat penting artinya untuk membina semangat para ahli dalam berkompetisi menemukan kebenaran, dan tak kalah pentingnya dengan adanya aliran-aliran ini, para ahli dapat saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain. Untuk lebih memahami aliran tersebut berikut akan penulis sajikan beberapa aliran dalam ilmu psikologi:

1.       Aliran Psikoanalisis
Aliran ini pertama kali muncul pada sekitar abad 19, yang dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939) ketika dia sedang menangani seorang pasien Neorotik atau pasien yang mempunyai ciri mudah cemas, disebabkan oleh konplik yang terjadi pada saat seoarng masih amat kecil, kemudian direpresi/ditekan (didorong masuk dari kesadaran ke alam tak sadar) seorang tokoh yang mungkin lebih tepat dikatakan sebgai pencetus psikodinamik. Namun demikian konsep pemikirannya tentang ketidak sadaran telah banyak meng-ilhami para ahli psikologi Analisis yang hidup setelahnya. Freud adalah seoarang psikiatris yang menaruh perhatian besar pada pengertian dan pengobatan gangguan mental. ia sedikit sekali menaruh minat terhadap problem-problem tradisional Psikologi Akademis seperti; Sensasi, Persepsi, Berfikir dan Kecerdasan karena itu ia mengabaikan problem kecerdasan dan mengrahkan usahanya untuk memahami dan menerangkan apa yang diistilahkannya sebagai ketidak sadaran.
Teori yang dicetuskan oleh Freud tentang kepribadian, mencoba menjelaskan tentang Normaliats dan Abnormalitas psikolgis dan perawatan terhadap orang-orang yang tidak normal Menurrut teori ini sumber utama konflik dan gangguan mental terletak pada ketidak sadaran, karena itu untuk mempelajari gejala-gejala ini, Freud mengembangkan teori Psikoanalisis yang sebagian besar di dasarkan pada interpretasi “arus pikiran pasien yang diasosiasikan secara bebas” dan analisis mimpi.

Dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Di alam tidak sadar inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung es dari kepribadian kita, yaitu:

a.    Id, adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
b.    Superego, adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari lingkungannya.
c.    Ego, adalah pengawas realitas.
Sebagai contoh:
Pada suatu ketika dijalan Anda menemukan Dompet dimana dompet tersebut berisi sejumlah uang yang tidak sedikit,ada kartu identitas pemilik,kartu penting seperti kartu kredit(ATM) dan pada waktu itu Anda sedang membutuhkan biaya untuk membayar SPP yang sudah nunggak selama 2bulan. Id mengatakan pada Anda: “Ambil saja dompet itu, toh tak ada yang tahu, lumayan bisa buat bayar SPP!”. Sedangkan ego berkata:”Lihat dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan lakukan, itu bukan hak kamu!”.

Pada masa kanak-kanak,kita dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya (bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).
Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking. Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk memilih tidak jajan demi ingin menabung). Walau begitu kadangkala pada orang dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel mendapat nilai jelek).
Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient), sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses ketiga adalah SQ (spiritual quotient).
Keberhasilah seseorang ditentukan pada ke-3 tingkat kecerdasan tersebut,karena dalam hidup tidak cukup dengan Kecerdasan Intelektual saja tetapi harus diseimbangkan dengan Kecerdasan Emosionalnya dan Kecerdasan Spiritualnya.

2.      Aliran Psikologi Gestalt (Gestalt Psychology)
Kata “Gesalt” berasal dari bahasa Jerman yang dalam bahasa Inggris berarti shape atau bentuk. Karena tidak ditemukan arti yang sesuai maka gesalt tetap dipakai. Tokoh psikologi ini adalah Max Wertheimer (1880-1943). Yang berpendapat bahwa dalam alat kejiwaan tidak terdapat jumlah unsur-unsurnya melainkan Gestalt (keseluruhan) dan tiap-tiap bagian tidak berarti dan bisa mempunyai arti kalau bersatu dalam hubungan kesatuan.
Psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam psikologi Gestalt disebut sebagai phenomena (gejala). Phenomena adalah data yang paling dasar dalam Psikologi Gestalt. Dalam hal ini Psikologi Gestalt sependapat dengan filsafat phenomonologi yang mengatakan bahwa suatu pengalaman harus dilihat secara netral. Dalam suatu phenomena terdapat dua unsur yaitu obyek dan arti. Obyek merupakan sesuatu yang dapat dideskripsikan, setelah tertangkap oleh indera, obyek tersebut menjadi suatu informasi dan sekaligus kita telah memberikan arti pada obyek itu.
Bagi para ahli yang mengikuti aliran gestalt, perkembangan itu adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi yang primer adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagian adalah sekunder; yaitu bagian-bagian yang hanya mempunyai arti sebagai bagian daripada keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lain, keseluruhan ada terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya.
Gestalt adalah keseluruhan yang diorganisasikan secara tersusun. Keseluruhan ini adalah lebih dari jumlah bagian-bagian, ia memperlihatkan sifat-sifat yang terdapat pada elemen-elemen. Keseluruhan memberi arti pada bagian-bagian, yaitu tiap-tiap anggota (bagian) didukung oleh keseluruhan dan baru memperoleh artinya dalam keseluruhan tersebut.

3.     Aliran Behaviorisme (Behaviorism)
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh
John B. Watson tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner.Aliran ini sering dikaitkan sebagai aliran ilmu jiwa namun tidak peduli pada jiwa. Pada akhir abad ke-19, Ivan Petrovic Pavlov memulai eksperimen psikologi yang mencapai puncaknya pada tahun 1940 - 1950-an. Di sini psikologi didefinisikan sebagai sains dan sementara sains hanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan diamati saja.
Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa diamati, maka tidak digolongkan ke dalam psikologi. Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang dapat dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive behaviour atau perilaku menyimpang. Salah satu contoh adalah ketika Pavlov melakukan eksperimen terhadap seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang lapar, Pavlov menyalakan lampu. Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya. Kemudian sepotong daging ditaruh dihadapannya dan anjing tersebut terbit air liurnya. Selanjutnya begitu terus setiap kali lampu dinyalakan maka daging disajikan. Begitu hingga beberapa kali percobaan, sehingga setiap kali lampu dinyalakan maka anjing tersebut terbit air liurnya meski daging tidak disajikan. Dalam hal ini air liur anjing menjadi conditioned response dan cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.
Percobaan yang hampir sama dilakukan terhadap seorang anak berumur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Setiap kali si anak akan memegang tikus putih maka dipukullah sebatang besi dengan sangat keras sehingga membuat si anak kaget. Begitu percobaan ini diulang terus menerus sehingga pada taraf tertentu maka si anak akan menangis begitu hanya melihat tikus putih tersebut. Bahkan setelah itu dia menjadi takut dengan segala sesuatu yang berbulu: kelinci, anjing, baju berbulu dan topeng Sinterklas. Ini yang dinamakan pelaziman dan untuk mengobatinya kita bisa melakukan apa yang disebut sebagai kontrapelaziman (counterconditioning).

4.     Aliran Strukturalisme (Structuralism)
Tokoh psikologi Strukturalisme adalah Wilhelm Wundt. Yang mulai berkembang pada abad ke-19 yaitu pada awal berdirinya psikologi sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri. Menurut Wundt untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaaan kita harus mempelajari isi dan struktur jiwa seseorang. Metode yang digunakan adalah instrospeksi / Elemen mawas diri. Obyek yang dipelajari dalam psikologi ini adalah Kesadaran.
Mental/elemen-elemen yang kecil yaitu jiwa, kesadaran, dan penginderaan (penangkapan terhadap rangsang yang dating dari luar dan dapat dianalisa sampai elemen-elemen yang terkecil).Perasaaan sesuatu yang dimiliki dalam diri kita, tidak terlalu di pengaruh rangsangan dari luar.
Tokoh strukturalisme lain adalah Edward Bradford Titchener. Titchener merupakan orang Inggris yang mewakili pandangan-pandangan psikologi Jerman (Wundt) di Amerika Serikat. Ia adalah murid dari Wundt dan ia menerjemahkan beberapa buku Wundt dalam bahasa Inggris.

5.      Psikologi Humanistis
Aliran ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis. Kedua aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau makhluk yang rendah.
Salah satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Adalah Viktor Frankl yang mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna). Pandangan ini berprinsip:
a)     Hidup memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b)     Tujuan hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c)     Kita memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia
mengalami dan menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada hidupnya.
Logoterapi ini sangat erat kaitannya dengan SQ tadi, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan situasi-situasi berikut ini:
1)       Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari Iran) menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus. Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa penceramah tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan, bahwa mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
2)     Makna muncul ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari Yogyakarta menuju Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.
3)     Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun. Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
4)    Ketika kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk memuaskan keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa dalam hidupnya.
5)     Ketika kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita sekarang). Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan kita.

6.     Aliran Fungsionalisme
Fungsionalisme adalah orientasi dalam psikologi yang menekankan pada proses mental dan menghargai manfaat psikologi serta mempelajari fungsi-fungsi kesadaran dalam menjembatani antara kebutuhan manusia dan lingkungannya.
Fungsionalisme memandang bahwa pikiran, proses mental, persepsi indrawi, dan emosi adalah adaptasi organisme biologis. Fungsionalisme lebih menekankan pada fungsifungsi dan bukan hanya fakta-fakta dari fenomena mental, atau berusaha menafsirkan fenomena mental dalam kaitan dengan peranan yang dimainkannya dalam kehidupan.
Aliran fungsionalisme merupakan aliran psikologi yang pernah sangat dominan pada masanya, dan merupakan hal penting yang patut dibahas dalam mempelajari psikologi. Pendekatan fungsionalisme berlawanan dengan pendahulunya, yaitu strukturalisme. Aliran fungsionalisme juga keluar dari pragmatism sebagai sebuah filsafat. Aliran fungsionalisme berbeda dengan psikoanalisa, maupun psikologi analytis, yang berpusat kepada seorang tokoh. Fungsionalisme memiliki macam-macam tokoh antara lain Willian James, John Dewey, J.R.Anggell dan James Mc.Keen Cattell .
Aliran dalam Fungsionalisme
Fungsionalisme mempunyai 2 (dua) aliran, namun pendiri fungsionalisme itu sendiri adalah :
1. Aliran Fungsionalisme Chicago
Terdapat banyak tokoh Fungsionalisme di Universitas Chicago sehingga dapat dikatakan menjadi aliran tersendiri yang disebut Fungsionalisme Chicago.
a)      John Dewey (1859-1952)
Pada tahun 1886 menulis buku yang berjudul “Psychology” dan dalam
bukunya ini beliau mengenalkan cara orang Amerika belajar ppsikologi
yaitu melalui cara pragmatisme. Sarjana-sarjana di Amerika kurang tertarik
dengan pertanyaan “Apakah jiwa itu?” tetapi lebih tertarik pada pertanyaan “Apakah kegunaan jiwa?” John Dewey juga menganjurkan metode yang Ia sebut dengan Learning by doing (belajar sambil melakukan) Dewey berpendapat bahwa segala pemikiran dan perbuatan harus selalu mempunyai tujuan, oleh karena alasan itulah ia menentang teori elementarisme.

b. James Rowland Angell
James memiliki tiga pandangan terhadap fungsionalisme, yaitu:
§  Fungsionalisme adalah psikologi tentang “mental operation” (aktivitas bekerjanya jiwa) sebagai lawan dari psikologi tentang elemen-elemen mental,
§  Fungsionalisme adalah psikologi tentang kegunaan dasar-dasar kesadaran. Ini juga disebut sebagai teori emergensi dari kesadaran,
§  Fungsionalisme adalah psiko-phisik, yaiitu psikologi tentang keseluruhan organisme yang terdiri dari badan dan jiwa.

2. Aliran Fungsionalisme Columbia
Selain di Chhicago, Fungsionalisme juga mempunyai banyak tokoh di Teachers College Columbia yang disebut aliran Columbia. Ciri aliran ini adalah kebebasannya meneliti tingkah laku yang dianggap sebagai kesatuan
yang tak dapat dipisahkan dan psikologi tak perlu ersifat deskriptif karena yang penting adalah korelasi tingkah laku dengan tingkah laku lain.

7.      . Transpersonal
a.   Pengertian Transpersonal
Transpersonal berasal dari kata trans dan personal. Trans yang berarti melewati dan personal yang berarti pribadi atau psikis. Psikologi transpersonal memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran manusia, khususnya taraf kesadaran ASCs (Altered States of Consciosness).
Dua unsur penting aliran transpersonal adalah potensi luhur seperti keruhanian, pengalaman mistik dan lain sebagainya. Unsur penting yang kedua adalah corak kesadaran yaitu memasuki alam kebatinan, pengalih dimensi meditasi.

c.    Tokoh – Tokoh Aliran Transpersonal
 Psikologi transpersonal dikembangkan pertama kali oleh para ahli yang sebelumnya mengkaji secara mendalam bidang humanistik seperti Abraham Maslow, C.G. Jung, Victor Frankl, Antony Sutich, Charles Tart dan lainnya. Dengan melihat dari para tokoh awalnya maka dapat diketahui bahwa psikologi transpersonal merupakan turunan langsung dari psikologi humanistik. Yang membedakan antara psikologi humanistik dan psikologi transpersonal adalah di dalam psikologi transpersonal lebih menggali kemampuan manusia dalam dunia spiritual, pengalaman puncak, dan mistisme yang dialami manusia. Beberapa kalangan berpendapat bahwa bidang spiritualitas dan kebatinan hanya didominasi oleh para ahli-ahli agama dan juga praktisi mistisme, namun ternyata dalam perkembangannya, kesadaran akan hal ini dapat diaplikasikan dan dibahas dalam ilmu pasti.
Secara garis besar seperti yang dikemukakan oleh Lajoie dan Shapiro dalam Journal of Transpersonal Psychology didefinisikan psikologi transpersonal sebagai studi mengenai potensi tertinggi dari manusia melalui pengenalan, pemahaman dan realisasi terhadap keesaan, spiritualitas dan kesadaran-transendental. Psikologi transpersonal juga melepaskan diri dari keterikatan berbagai bentuk agama yang ada. Namun walau demikian dalam penelitiannya psikologi transpersonal mengkaji pengalaman spiritual yang dialami oleh para ahli spiritual yang berasal dari berbagai macam agama sebagai subjek penelitiannya.



BAB III
PENUTUPAN

Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa, psikologi sebagai suatu disiplin ilmu dari tahun ketahun semakin menampakkan kapasitasnya, terutama konstribusinya dalam menyikapi kejiwaan seseorang. Psikologi juga merupakan gagasan-gagasan mengenai sesuatu yang menyangkut tentang tingkah laku manusia dan lingkungan sekitarnya melalui pengalaman-pengalaman yang dialami.
Wilhelm Wundt, orang pertama yang memproklamirkan psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu sekaligus orang pertama kali mencetuskan Ilmu  Psikologi dan laboratorium lepzig jerman. Wundt mendeklarasikan sebuah disiplin formal yakni psikologi yang didasarkan pada formulasi-formulasi ilmiah sehingga psikologi diakui sebagai ilmu pengetahuan.
Aliran-aliran psikologi dalam menyikapi kejiwaan seseorang cenderung berbeda. aliran psikoanlisis menyatakan dalam jiwa seseorang terdapat Id, Ego, dan Superego, dan lebih memfokuskan pada ketidak sadaran seseorang Lain lagi dengan aliran Gestalt yang menyatakan bahwa, persepsi manusia terjadi secara menyeluruh bukan spotong-sepotong atau parsial. Sedangkan behaviorisme menyatakan bahwa psikologi hanya memusatkan perhatian pada apa yang dilakuakn oleh orang lain. Dan untuk aliran humanistik menyatakan bahwa untuk memahami perilaku seseorang terletak pada sipelaku bukan sipengamat Saran-saran.